Saat kuliah aku punya sahabat karib bernama Yenny. Walaupun belum tentu sekali setahun berjumpa tetapi semenjak sama-sama kami berkeluarga hingga anak-anak tumbuh dewasa, jalinan persahabatan kami tetap berlanjut. Setidaknya setiap bulan kami saling bertelpon. Ada saja masalah untuk diomongkan. Suatu pagi Yenny telepon bahwa dia baru pulang dari Magelang, kota kelahirannya. Dia bilang ada oleh-oleh kecil untuk aku. Kalau aku tidak keluar rumah, Idang anaknya, akan mengantarkannya kerumahku. Ah, repotnya sahabatku, demikian pikirku. Aku sambut gembira atas kebaikan hatinya, aku memang jarang keluar rumah dan aku menjawab terima kasih untuk oleh-olehnya. Ah, rejeki ada saja, Yenny pasti membawakan getuk, makanan tradisional dari Magelang kesukaanku. Aku tidak akan keluar rumah untuk menunggu si Idang, yang seingatku sudah lebih dari 10 tahun aku tidak berjumpa dengannya. Menjelang tengah hari sebuah jeep Cherokee masuk ke halaman rumahku. Kuintip dari jendela. Dua orang anak tanggung turun dari jeep itu. Mungkin si Idang datang bersama temannya. Ah, jangkung bener anak Yenny. Aku buka pintu. Dengan sebuah bingkisan si Idang naik ke teras rumah
“Selamat siang, Tante. Ini titipan mama untuk Tante Erna. Kenalin ini Bonny teman saya, Tante”. Idang menyerahkan kiriman dari mamanya dan mengenalkan temannya padaku. Aku sambut gembira mereka. Oleh-oleh Yenny dan langsung aku simpan di lemari es-ku biar nggak basi. Aku terpesona saat melihat anak Yenny yang sudah demikian gede dan jangkung itu. Dengan gaya pakaian dan rambutnya yang trendy sungguh keren anak sahabatku ini. Demikian pula si Donny temannya, mereka berdua adalah pemuda-pemuda masa kini yang sangat tampan dan simpatik. Ah, anak jaman sekarang, mungkin karena pola makannya sudah maju pertumbuhan mereka jadi subur. Mereka aku ajak masuk ke rumah. Kubuatkan minuman untuk mereka. Kuperhatikan mata si Donny agak nakal, dia pelototi bahuku, buah dadaku, leherku. Matanya mengikuti apapun yang sedang aku lakukan, saat aku jalan, saat aku ngomong, saat aku mengambil sesuatu. Ah, maklum anak laki-laki, kalau lihat perempuan yang agak melek, biar sudah tuaan macam aku ini, tetap saja matanya melotot. Dia juga pinter ngomong lucu dan banyak nyerempet-nyerempet ke masalah seksual. Dan si Idang sendiri senang dengan omongan dan kelakar temannya. Dia juga suka nimbrung, nambahin lucu sambil melempar senyuman manisnya.
Kami jadi banyak tertawa dan cepat saling akrab. Terus terang aku senang dengan mereka berdua. Dan tiba-tiba aku merasa berlaku aneh, apakah ini karena naluri perempuanku atau dasar genitku yang nggak pernah hilang sejak masih gadis dulu, hingga teman-temanku sering menyebutku sebagai perempuan gatal. Dan kini naluri genit macam itu tiba-tiba kembali hadir. Mungkin hal ini disebabkan oleh tingkah si Donny yang seakan-akan memberikan celah padaku untuk mengulangi peristiwa-peristiwa masa muda. Peristiwa-peristiwa penuh birahi yang selalu mendebarkan jantung dan hatiku. Ah, dasar perempuan tua yang nggak tahu diri, makian dari hatiku untukku sendiri. Tetapi gebu libidoku ini demikian cepat menyeruak ke darahku dan lebih cepat lagi ke wajahku yang langsung terasa bengap kemerahan menahan gejolak birahi mengingat masa laluku itu.
“Tante, jangan ngelamun. Cicak jatuh karena ngelamun, lho”. Kami kembali terbahak mendengar kelakar Idang. Dan kulihat mata Donny terus menunjukkan minatnya pada bagian-bagian tubuhku yang masih mulus ini. Dan aku tidak heran kalau anak-anak muda macam Donny dan Idang ini demen menikmati penampilanku. Walaupun usiaku yang memasuki tahun ke 42 aku tetap “fresh” dan “good looking”. Aku memang suka merawat tubuhku sejak muda. Boleh dibilang tak ada kerutan tanda ketuaan pada bagian-bagian tubuhku. Kalau aku jalan sama Oke, suamiku, banyak yang mengira aku anaknya atau bahkan “piaraan”nya. Kurang asem, tuh orang.
Dan suamiku sendiri sangat membanggakan kecantikkanku. Kalau dia berkesempatan untuk membicarakan istrinya, seakan-akan memberi iming-iming pada para pendengarnya hingga aku tersipu walaupun dipenuhi rasa bangga dalam hatiku. Beberapa teman suamiku nampak sering tergoda untuk mencuri pandang padaku. Tiba-tiba aku ada ide untuk menahan kedua anak ini.
“Hai, bagaimana kalau kalian makan siang di sini. Aku punya resep masakan yang gampang, cepat dan sedap. Sementara aku masak kamu bisa ngobrol, baca tuh majalah atau pakai tuh, komputer si oom. Kamu bisa main game, internet atau apa lainnya. Tapi jangan cari yang ‘enggak-enggak’, ya..”, aku tawarkan makan siang pada mereka.
Tanpa konsultasi dengan temannya si Donny langsung iya saja. Aku tahu mata Donny ingin menikmati sensual tubuhku lebih lama lagi. Si Idang ngikut saja apa kata Donny. Sementara mereka buka komputer aku ke dapur mempersiapkan masakanku. Aku sedang mengiris sayuran ketika tahu-tahu Donny sudah berada di belakangku. Dia menanyaiku, “Tante dulu teman kuliah mamanya Idang, ya. Kok kayanya jauh banget, sih?”.
“Apanya yang jauh?, aku tahu maksud pertanyaan Donny. “Iya, Tante pantesnya se-umur dengan teman-temanku”. “Gombal, ah. Kamu kok pinter nge-gombal, sih, Don”. “Bener. Kalau nggak percaya tanya, deh, sama Idang”, lanjutnya sambil melototi pahaku. “Tante hobbynya apa?”. “Berenang di laut, skin dan scuba diving, makan sea food, makan sayuran, nonton Discovery di TV”. “Ooo, pantesan”. “Apa yang pantesan?”, sergapku. “Pantesan body Tante masih mulus banget”.
Kurang asem Donny ini, tanpa kusadari dia menggiring aku untuk mendapatkan peluang melontarkan kata-kata “body Tante masih mulus banget” pada tubuhku. Tetapi aku tak akan pernah menyesal akan giringan Donny ini. Dan reaksi naluriku langsung membuat darahku terasa serr.., libidoku muncul terdongkrak. Setapak demi setapak aku merasa ada yang bergerak maju. Donny sudah menunjukkan keberaniannya untuk mendekat ke aku dan punya jalan untuk mengungkapkan kenakalan ke-lelakian-nya.
“Ah, mata kamu saja yang keranjang”, jawabku yang langsung membuatnya tergelak-gelak.
“Papa kamu, ya, yang ngajarin?, lanjutku. “Ah, Tante, masak kaya gitu aja mesti diajarin”. Ah, cerdasnya anak ini, kembali aku merasa tergiring dan akhirnya terjebak oleh pertanyaanku sendiri.
“Memangnya pinter dengan sendirinya?”, lanjutku yang kepingin terjebak lagi. “Iya, dong, Tante. Aku belum pernah dengar ada orang yang ngajari gitu-gitu-an”. Ah, kata-kata giringannya muncul lagi, dan dengan senang hati kugiringkan diriku. “Gitu-gituan gimana, sih, Don sayang?”, jawabku lebih progresif.
“Kalau saya, action, Tante sayang”, balas sayangnya. “Ya, sudah, kalau mau action, tuh ulek bumbu tumis di cobek, biar masakannya cepet mateng”, ujarku sambil memukulnya dengan manis.
“Oo, beres, Tante sayang”, dia tak pernah mengendorkan serangannya padaku. Kemudian dia menghampiri cobekku yang sudah penuh dengan bumbu yang siap di-ulek. Beberapa saat kemudian aku mendekat ke dia untuk melihat hasil ulekannya. “Uh, baunya sedap banget, nih, Tante. Ini bau bumbu yang mirip Tante atau bau Tante yang mirip bumbu?”. Kurang asem, kreatif banget nih anak, sambil ketawa ngakak kucubit pinggangnya keras-keras hingga dia aduh-aduhan. Seketika tangannya melepas pengulekan dan menarik tanganku dari cubitan di pinggangnya itu. Saat terlepas tangannya masih tetap menggenggam tanganku, dia melihat ke mataku. Ah, pandangannya itu membuat aku gemetar. Akankah dia berani berbuat lebih jauh? Akankah dia yakin bahwa aku juga merindukan kesempatan macam ini? Akankah dia akan mengisi gejolak hausku? Petualanganku? Nafsu birahiku?
Aku tidak memerlukan jawaban terlampau lama. Bibir Donny sudah mendarat di bibirku. Kini kami sudah berpagutan dan kemudian saling melumat. Dan tangan-tangan kami saling berpeluk. Dan tanganku meraih kepalanya serta mengelusi rambutnya. Dan tangan Donny mulai bergeser menerobos masuk ke blusku. Dan tangan-tangan itu juga menerobosi BH-ku untuk kemudian meremasi payudaraku. Dan aku mengeluarkan desahan nikmat yang tak terhingga. Nikmat kerinduan birahi menggauli anak muda yang seusia anakku, 22 tahun di bawah usiaku.
“Tante, aku nafsu banget lihat body Tante. Aku pengin menciumi body Tante. Aku pengin menjilati body Tante. Aku ingin menjilati nonok Tante. Aku ingin ngentot Tante”. Ah, seronoknya mulutnya. Kata-kata seronok Donny melahirkan sebuah sensasi erotik yang membuat aku menggelinjang hebat. Kutekankan selangkanganku mepet ke selangkangnnya hingga kurasakan ada jendolan panas yang mengganjal. Pasti kontol Donny sudah ngaceng banget.
Kuputar-putar pinggulku untuk merasakan tonjolannya lebih dalam lagi. Donny mengerang.Dengan tidak sabaran dia angkat dan lepaskan blusku. Sementara blus masih menutupi kepalaku bibirnya sudah mendarat ke ketiakku. Dia lumati habis-habisan ketiak kiri kemudian kanannya. Aku merasakan nikmat di sekujur urat-uratku. Donny menjadi sangat liar, maklum anak muda, dia melepaskan gigitan dan kecupannya dari ketiak ke dadaku. Dia kuak BH-ku dan keluarkan buah dadaku yang masih nampak ranum. Dia isep-isep bukit dan pentilnya dengan penuh nafsu. Suara-suara erangannya terus mengiringi setiap sedotan, jilatan dan gigitannya. Sementara itu tangannya mulai merambah ke pahaku, ke selangkanganku. Dia lepaskan kancing-kancing kemudian dia perosotkan hotpants-ku. Aku tak mampu mengelak dan aku memang tak akan mengelak. Birahiku sendiri sekarang sudah terbakar hebat. Gelombang dahsyat nafsuku telah melanda dan menghanyutkan aku. Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah dan merintih menanggung derita dan siksa nikmat birahiku.
Begitu hotpants-ku merosot ke kaki, Donny langsung setengah jongkok menciumi celana dalamku. Dia kenyoti hingga basah kuyup oleh ludahnya. Dengan nafsu besarnya yang kurang sabaran tangannya memerosotkan celana dalamku. Kini bibir dan lidahnya menyergap vagina, bibir dan kelentitku. Aku jadi ikutan tidak sabar.
“Donny, Tante udah gatal banget, nih”. “Copot dong celanamu, aku pengin menciumi kamu punya, kan”. Dan tanpa protes dia langsung berdiri melepaskan celana panjang berikut celana dalamnya. kontolnya yang ngaceng berat langsung mengayun kaku seakan mau nonjok aku. Kini aku ganti yang setengah jongkok, kukulum kontolnya. Dengan sepenuh nafsuku aku jilati ujungnya yang sobek merekah menampilkan lubang kencingnya. Aku merasakan precum asinnya saat Donny menggerakkan pantatnya ngentot mulutku. Aku raih pahanya biar arah kontolnya tepat ke lubang mulutku.
“Tante, aku pengin ngentot memek Tante sekarang”. Aku tidak tahu maunya, belum juga aku puas mengulum kontolnya dia angkat tubuhku. Dia angkat satu kakiku ke meja dapur hingga nonokku terbuka. Kemudian dia tusukkannya kontolnya yang lumayan gede itu ke memekku.
Aku menjerit tertahan, sudah lebih dari 3 bulan Oke, suamiku nggak nyenggol-nyenggol aku. Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah. Terlampau banyak alasan untuk memberikan waktunya padaku. Kini kegatalan kemaluanku terobati, Kocokkan kontol Donny tanpa kenal henti dan semakin cepat. Anak muda ini maunya serba cepat. Aku rasa sebentar lagi spermanya pasti muncrat, sementara aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya.
Aku harus menunda agar nafsu Donny lebih terarah. Aku cepat tarik kemaluanku dari tusukkannya, aku berbalik sedikit nungging dengan tanganku bertumpu pada tepian meja. Aku pengin dan mau Donny nembak nonokku dari arah belakang. Ini adalah gaya favoritku. Biasanya aku akan cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini. Donny tidak perlu menunggu permintaanku yang kedua. kontolnya langsung di desakkan ke mem*kku yang telah siap untuk melahap kontolnya itu. Nah, aku merasakan enaknya kontol Donny sekarang. Pompaannya juga lebih mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap tusukan kont*lnya. Ruang dapur jadi riuh rendah.
Selintas terpikir olehku, di mana si Idang. Apakah dia masih berkutat dengan komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali? Tiba-tiba dalam ayunan kont*lnya yang sudah demikian keras dan berirama Donny berteriak.
“Dang, Idang, ayoo, bantuin aku .., Dang..”. Ah, kurang asem anak-anak ini. Jangan-jangan mereka memang melakukan konspirasi untuk mengentotku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk mengirimkan oleh-oleh itu. Kemudian kulihat Idang dengan tenangnya muncul menuju ke dapur dan berkata ke Donny
“Gue kebagian apanya Don?’ “Tuh, lu bisa ngentot mulutnya. Dia mau kok”. Duh, kata-kata seronok yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah aku ini hanya obyek mereka. Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak santun itu demikian merangsang nafsu birahiku, sangat eksotik dalam khayalku. Aku langsung membayangkan seolah-olah aku ini anjing mereka yang siap melayani apapun kehendak pemiliknya.
Aku melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu. Kulihat dengan tenangnya Idang mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa hormat padaku yang adalah teman mamanya itu, untuk kemudian ditariknya mendekat ke kontolnya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya. kontol Idang nampak kemerahan mengkilat. Kepalanya menjamur besar diujung batangnya.
Saat bibirku disentuhkannya aroma kontolnya menyergap hidungku yang langsung membuat aku kelimpungan untuk selekasnya mencaplok kontol itu. Dengan penuh kegilaan aku lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji pelernya. Tangan Idang terus mengendalikan kepalaku mengikuti keinginannya. Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa, terkadang dia tarik keluar kontolnya menekankan batangnya atau pelirnya agar aku menjilatinya.
Duh, aku mendapatkan sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa. Sementara di belakang sana si Donny terus menggenjotkan kontolnya keluar masuk menembusi nonoknya sambil jari-jarinya mengutik-utik dan disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah aku mengalami cara macam itu. Oke, suamiku adalah lelaki konvensional.
Saat dia menggauliku dia lakukan secara konvensional saja. Sehingga saat aku merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini aku merasakan adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda aku. Kini 3 lubang erotis yang ada padaku semua dijejali oleh nafsu birahi mereka. Aku benar-benar jadi lupa segala-galanya. Aku mengenjot-enjot pantatku untuk menjemputi kontol dan jari-jari tangan Donny dan mengangguk-anggukkan kepalaku untuk memompa kontol Idang.
“Ah, Tante, mulut Tante sedap banget, sih. Enak kan, kontolku. Enak, kan? Sama kontol Oom enak mana? N’tar Tante pasti minta lagi, nih”.
Dia percepat kendali tangannya pada kepalaku. Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku. kontol Idang sudah sangat kuyup. Sesekali aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.
Tiba-tiba Donny berteriak dari belakang, “Aku mau keluar nih, Tante. Keluarin di memok atau mau diisep, nih?”.
Ah, betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini. Mendengar teriakan Donny yang nampak sudah kebelet mau muncratkan spermanya, aku buru-buru lepaskan kontol Idang dari mulutku. Aku bergerak dengan cepat jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kontol Donny yang kini penuh giat tangannya mengocok-ocok kont*lnya untuk mendorong agar air maninya cepat keluar.
Kudengar mulutnya terus meracau, “Minum air maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya, makan spermaku ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan ya..”.
Air mani Donny muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke rambutku. Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya. Yang masuk mulutku langsung aku kenyam-kenyam dan kutelan. Yang meleleh di batang dan tanganannya kujilati kemudian kuminum pula. Kemudian dengan jari-jarinya Donny mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian disodorkannya ke mulutku yang langsung kulumati jari-jarinya itu. Ternyata saat Idang menyaksikan apa yang dikerjakan Donny dia nggak mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kontolnya. Dan beberapa saat sesudah kontol Donny menyemprotkan air maninya, menyusul kontol Idang memuntahkan banyak spermanya ke mulutku. Aku menerima semuanya seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku. Aku merasakan rasa yang berbeda, sperma Donny serasa madu manisnya, sementara sperma Idang sangat gurih seperti air kelapa muda.
Dasar anak muda, nafsu mereka tak pernah bisa dipuaskan. Belum sempat aku istirahat mereka mengajak aku ke ranjang pengantinku. Mereka nggak mau tahu kalau aku masih mengagungkan ranjang pengantinku yang hanya Oke saja yang boleh ngentot aku di atasnya. Setengahnya mereka menggelandang aku memaksa menuju kamarku.
Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku berada di pinggiran ranjang. Idang menjemput satu tungkai kakiku yang dia angkatnya hingga nempel ke bahunya. Dia tusukan kontolnya yang tidak surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan sperma untuk menyesaki memekku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping kanan, kiri, ke atas, ke bawah dengan penuh irama. Aku merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan aku langsung menggelinjang dahsyat. Pantatku naik turun menjemput tusukan-tusukan kontol legit si Idang. Sementara itu Donny menarik tubuhku agar kepalaku bisa menciumi dan mengisap kontolnya. Kami bertiga kembali mengarungi samudra nikmatnya birahi yang nikmatnya tak terperi.
Hidungku menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Donny. Jilatan lidah dan kuluman bibirku liar melata ke seluruh kemaluan Donny. Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Donny kuraih ke atas ranjang sehingga satu kakinya menginjak ke kasur dan membuat posisi pantatnya menduduki wajahku. Dengan mudah tangan Donny meraih dan meremasi susu-susu dan pentilku.
Sementara hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah akar pangkal kontolnya yang keras menggembung. Aku menggosok-gosokkan keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas untuk ngocok kontol Donny. Duh, aku kini tenggelam dalam aroma nikmat yang tak terhingga. Aku menjadi kesetanan menjilati celah pantat Donny. Aroma yang menusuk dari pantatnya semakin membuat aku liar tak terkendali. Sementara di bawah sana Idang yang rupanya melihat bagaimana aku begitu liar menjilati pantat Donny langsung dengan buasnya menggenjot nonokku. Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,
“Tante, nonokmu enak, Tante, nonokmu aku entot, Tante, nonokmu aku entot, ya, enak, nggak, heh?, Enak ya, kontolku, enak Tante, kontolku?”. Aku juga membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yang sangat dahsyat. Dan ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku. Aku tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku. Gerakkanku semakin menggila, semakin cepat dan keluar dari keteraturan. Kocokkan tanganku pada kontol Donny semakin kencang. Naik-naik pantatku menjemputi kontol Idang semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat. Dan teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu kutahan, meledak menyertai bobolnya pertahanan kemaluanku. Cairan birahiku tumpah ruah membasah dab membusa mengikuti batang kontol yang masih semakin kencang menusukki nonokku. Dan aku memang tahu bahwa Idang juga hendak melepas spermanya yang kemudian dengan rintihan nikmatnya akhirnya menyusul sedetik sesudah cairan birahiku tertumpah. Kakiku yang sejak tadi telah berada dalam pelukannya disedoti dan gigitinya hingga meninggalkan cupang-cupang kemerahan.
Sementara Donny yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar aku mempercepat kocokkan kontolnya sambil tangannya keras-keras meremasi buah dadaku hingga aku merasakan pedihnya. Dan saat puncaknya itu akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri kontolnya dengan kecepatan tinggi hingga spermanya muncrat semburat tumpah ke tubuhku. Aku yang tetap penasaran, meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku mengisap-isap cairan maninya hingga akhirnya segalanya reda. Jari-jari tanganku mencoleki sperma yang tercecer di tubuhku untuk aku jilat dan isap guna mengurangi dahaga birahiku.
Sore harinya, walaupun aku belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari esku dengan penuh semangat dan terima kasih aku menelepon Yenny. “Wah, terima kasih banget atas kirimannya, ya Yen. Karena sudah lama aku tidak merasakannya, huh, nikmat banget rasanya. Ada gurihnya, ada manisnya, ada legitnya”, kataku sambil selintas mengingat kenikmatan yang aku raih dari Idang anaknya dan Donny temannya.
Yenny tertawa senang sambil menjawab, “Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk dari Pucang (sebuah desa di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu. N’tar deh kalau aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu”.
Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mati aku, demikian pikirku. Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukan getuk kesukaanku.